Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa (1)
![Stovia](http://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/10/stovia.jpg?w=287&h=246)
Profesor Akira Nagazumi dari Universitas
Tokyo menjelaskan panjang lebar soal pertumbuhan dan pengaruh Budi Utomo
sejak didirikan pada tahun 1908, sebagai organisasi nasionalis pertama
di Indonesia. Menurut dia, organisasi ini lebih bersifat kebudayaan
daripada politik.
Meskipun karya tersebut baru diterbitkan
berupa buku oleh Institute of Development Economics, Tokyo, tahun 1972,
dan merupakan penyempurnaan dari disertasi Akira Nagazumi di Universitas
Cornell, Amerika Serikat, lima tahun sebelumnya (1967), pengupasannya
mengenai Boedi Oetomo mulai dari lahirnya pada 20 Mei 1908 sampai
sepuluh tahun usianya (1918) dapat dijadikan acuan bagi mereka yang
berminat mempelajari organisasi yang penting bagi sejarah Indonesia itu.
Judul bukunya Fajar-Menyingsingnya
Nasionalisme Indonesia itu sering dinilai tidak tepat sebab Boedi Oetomo
belum merupakan sebuah organisasi yang memperjuangkan cita-cita
kebangsaan Indonesia seperti yang pada 1945 diproklamasikan oleh
Soekarno-Hatta.
Berikut sebuah tulisan dari Akira Nagazumi dari Majalah Tempo yang terbit 4 Juni 1988 dengan judul “Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa”.
*********************
Dewasa ini Budi Utomo dipandang sebagai
organisasi nasional pertama yang lahir di Indonesia. Namun, penduduk
pribumi berusaha menghubungkannya dengan organisasi-organisasi yang ada
sebelum 1908. Majalah Retnodhoemilah, yang pertama terbit 1895, dan
Pewarta Prijaji, yang muncul lima tahun kemudian, mencerminkan adanya
hasrat di kalangan elite pribumi untuk memperjuangkan kepentingan mereka
sendiri. Walau nomor-nomor awal Retnodhoemilah disunting oleh seorang
Belanda, dan orang Jawa sendiri tidak banyak berperanan, majalah ini
diterbitkan dalam bahasa Melayu dan Jawa.
Isi majalah sebagian besar membicarakan
masalah kondisi penduduk Jawa yang memburuk dengan perhatian khusus pada
kalangan priayi, jelas ditujukan bagi pembaca elite pribumi. Orientasi
seperti ini bahkan lebih kentara pada Pewarta Prijaji. Sementara oplah
kedua majalah ini tidak diketahui, pada 1903, persatuan pembaca Pewarta
Prijaji terbentuk di ibu kota tujuh belas keresidenan di Jawa dan
Madura, dengan tiga puluh cabang di ibukota kabupaten. Kelompok ini
tersebar merata di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Anggota
perkumpulan terutama berasal dari priayi lapisan bawah: pemangku jabatan
juru tulis kontrolir kolonial, juru tulis asisten residen dan pejabat
pengadilan, atau priayi yang menjabat wedana, asisten wedana, jaksa, dan
polisi.
![Dr. Wahidin Soedirohoesodo](http://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/10/dr-wahidin-soedirohoesodo.jpg?w=547)
Lahir 1857 di salah satu keluarga tertua
yang bermukim di Desa Mlati, di kaki Gunung Merapi, dekat Yogyakarta,
Wahidin termasuk golongan priayi desa, seperti ditunjukkan oleh gelarnya
yang sederhana: Mas Ngabehi. Karena Mlati terletak tidak jauh dari
Yogyakarta, maka banyak bangsawan pribumi dan orang Eropa melewati desa
ini, baik untuk alasan dagang maupun alasan wisata. Pendatang yang
terkesan oleh kecerdasan Wahidin menganjurkan agar anak itu
disekolahkan. Wahidin salah seorang di antara murid pribumi pertama yang
diterima di sebuah sekolah dasar Eropa.
![STOVIA Graduate 1911 (Extraordinary)](http://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/10/07-stovia-graduate-1911-extraordinary.jpg?w=547)
Tahun 1901, ia menjadi redaktur
Retnodhoemilah. Nama harum Wahidin bukan hanya didukung oleh
kecakapannya sebagai ahli kesehatan. Ia juga dihormati sebagai orang
yang rendah hati dan berpekerti halus, yang mampu memadu pendidikan
Barat yang diterimanya dengan unsur-unsur terbaik dalam tradisi Jawa. Ia
juga dikenal sebagai juru karawitan yang mumpuni, pandai memainkan
banyak gending di luar kepala dengan gamelan apa saja, dan sebagai
dalang wayang kulit kepandaiannya hanya kalah oleh dalang profesional.
“Harmoni” merupakan tema tetap tulisan dan ceramah Wahidin.
Ia sendiri cukup luwes mempertahankan
ketaatannya kepada budaya tradisional, tapi siap menyesuaikan diri
dengan politi kolonial yang sehat. Ia melihat adanya semacam perhatian
terhadap kesejahteraan penduduk pribumi, yang telah memungkinkan dirinya
menjad seorang dokter. Bagi Wahidin, sebagai anggota golongan priayi
bawahan yang berpendidikan Barat, politik etis lebih banyak memberikan
janji ketimbang kekecewaan.
Sebagai redaktur Retnodhoemilah, Wahidin
berusaha berkomunikasi dengan kalangan luas penduduk pribumi. Maka,
dalam edisi pengangkatannya, ia mengumumkan, selanjutnya Retnodhoemilah
tidak hanya diterbitkan di dalam bahasa Jawa, tetapi juga dalam bahasa
Melajoe sedang bukan bahasa Melayu tinggi seperti yang sudah, sehingga
pembaca Jawa bisa menangkap isinya dengan mudah. Selanjutnya, ia
mengubah isi secara radikal. Rubrik luar negeri diperluas, dan
laporan-laporan terinci mengenai Peristiwa Bokser di Cina, Perang Boer,
dan kejadian-kejadian luar negeri lainnya menjadi berita utama.
Karangan-karangan dalam Retnodhoemilah berangsur-angsur berubah, dari
bernada pasif menjadi aktif.
Pada salah satu nomor, seorang penulis
bernama Darat berkeluh-kesah tentang kemelaratan saudara-saudaranya
setanah air dibandingkan dengan taraf hidup para pendatang Jepang, Cina,
dan Arab, mencoba menggugah mereka agar mengikuti jejak para pendatang
itu. Walau dalam karangan-karangan sebelumnya pun tidak pernah
disebut-sebut secara khusus soal organisasi para imigran Cina di
Batavia, yang didirikan pada 1900, peristiwa itu menimbulkan kesan
mendalam bagi masyarakat pribumi. Perkumpulan tersebut, Tiong Hwa Hwe
Koan, dibentuk sebagai protes terhadap keputusan pemerintah tahun 1899,
yang memberikan kedudukan pada bangsa Jepang sama dengan bangsa Eropa.
Kedua perkembangan ini telah menggugah
kaum terpelajar Jawa untuk berdaya upaya mempersatukan diri mereka.
Sebuah karangan dalam Retnodhoemilah, 4 Januari 1901, menyambut
berdirinya perkumpulan Mardiwara (Berupaya): Walau Mardiwara baru saja
berdiri, jumlah priayi yang menjadi anggotanya sudah mencapai lebih dari
seratus orang. Kecuali para pembesar dari kalangan kesultanan
Yogyakarta, Mardiwara juga beranggotakan para pejabat di luar itu. Walau
organisasi ini kelihatan lebih bersifat persaudaraan ketimbang bersifat
gerakan, toh menarik diperhatikan karena inti persatuan adalah
kesultanan Yogyakarta, dan anggotanya seratus orang lebih, yang terdiri
atas para pembesar pribumi.
Sukar ditebak, apakah yang dimaksud
Toemenggoeng Danoekoesoemo dengan “tanda kehormatan bagi kerajaan”
kebesaran Negeri Belanda, ataukah kebesaran Mataram prakolonial. Tetapi
bagi para pejabat yang berwawasan kepangkatan itu, kiranya tidak akan
banyak berbeda arti. Biarlah kaum kolot tinggal di hutan belantara dan
bersemadi sesuka hati, sampai maut merenggut jiwa raga mereka. Karena
zaman modern menuntut kemajuan dan perbaikan syarat-syarat kehidupan,
maka marilah kita mengambil langkah tegas. Agar kaum muda tidak
mempunyai alasan untuk menertawakan mereka yang ada di tengah-tengah
kaum muda dan kaum tua, yang berdiri mengempang jalan kemajuan. Meminta
bantuan keuangan dari orang-orang Jawa yang berharta, penulis menunjuk
pada pengalaman masa lalu, hampir semua organisasi bangsa Jawa mati
karena ketiadaan dana. Dengan sedikit pedas ia menutup karangannya:
Maka, menjadi jelas, apabila tidak ada seorangpun bersedia menyokong
gagasan ini, penulis hanya bisa menyimpulkan bahwa bangsa Jawa memang
belum menghendaki kemajuan, dan imbauan yang terkadang muncul di
koran-koran itu sekadar buah bibir belaka, sementara di jantung hati
mereka masih bersemayam pikiran-pikiran kolot. Jika memang demikian
halnya, penulis pun akan bungkam seribu bahasa.
Pendirian Wahidin selama tahun-tahun awal
menunjukkan bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan. Hal ini kelak
dengan jelas diuraikan Soewardi Soeryaningrat, tokoh terkemuka dalam
awal gerakan kebangsaan Indonesia dan pendiri perguruan Taman Siswa,
dalam catatan kenangan untuk Wahidin.
Apa yang menurut Wahidin diperlukan ialah
pendidikan secukup-cukupnya bagi masyarakat pribumi, dan mempertinggi
kesadaran kebangsaan di kalangan orang Jawa. Perjuangan hidup mati yang
terhampar di hadapan orang Jawa ialah memilih satu di antara dua:
berjuang atau hancur. Dan Wahidin berpendapat, mereka harus bersiap
sedia menghadapi perjuangan mendatang dengan jalan menyebarluaskan
pendidikan. Dalam mempropagandakan masalah pendidikan Wahidin
berpendapat, paling tepat dengan melakukan pendekatan pertama kepada
mereka yang bisa memahami bahasa ibu, yaitu masyarakat Jawa.
Kendati pada 1901 ia menekankan
pentingnya bahasa Melayu sebagai perantara, ia cenderung memotong bahasa
ini. Alasannya: Jika tertulis dalam bahasa Melayu, banyak kaum priayi
Jawa tidak akan bisa memahaminya, walau mereka mengerti bahasa Melayu
pasar. Jika yang dipakai bahasa dan aksara Jawa, bahkan lurah pun akan
mengerti. Malah mandor dan kulit pun bisa mengerti. Sejalan dengan
pendiriannya ini, kebanyakan karangannya yang jelas bercorak kebangsaan
dalam Retnodhoemilah, hanya terbit dalam edisi berbahasa Jawa, dan tidak
pada edisi Melayu.
Terpusat pada pegawai pemerintah pribumi
sebagai sasaran pokok kegiatannya, Wahidin mulai melancarkan propaganda
besar-besaran tentang pemberian beasiswa bagi anak-anak muda pribumi
yang pandai pada 1906. Ketidaksabarannya yang semakin memuncak
menghadapi tanggapan dingin masyarakat Jawa itulah yang telah
menggugahnya melakukan tindakan yang lebih nyata.
Pada November tahun itu juga dengan
alasan kesehatan pribadi, ditinggalkannya jabatan ketua redaksi
Retnodhoemilah untuk mencari kebebasan berkiprah lebih besar. Dalam
propagandanya, Wahidin bersama dengan Pangeran Aria Noto Dirodjo, putra
Pakualam V. Wahidin mempunyai hubungan erat dengan keluarga Pakualam
selama bertahun-tahun, karena juga mereka dikenal sebagai pendukung
aktif pendidikan Barat.
Tetapi semangat kedua tokoh ini sama
sekali tidak bisa mengatasi masalah yang menyangkut umur masing-masing –
Wahidin, 51 tahun, dan Noto Dirodjo satu tahun lebih muda. Selain itu,
juga masalah pembiayaan untuk kegiatan mereka tersebut. Wahidin lalu
mendekati priayi lebih tua dan lebih tinggi, khususnya para bupati yang
kaya dan berpengaruh, tetapi tak banyak di antara mereka itu yany
menaruh minat pada usahanya. Di sana-sini terkadang Wahidin harus
menghadapi tentangan keras dari kalangan bupati, yang memandangnya
sebagai hendak mengguncang ketenteraman dan ketertiban sistem yang
berlaku. Setengahnya lagi berpaling muka semata-mata karena kedudukan
rendah Wahidin sebagai dokter Jawa, yang berpangkat sejajar dengan
asisten wedana senior saja. Kendati demikian, perjalanan kampanye itu
tidak gagal sama sekali.
Setidak-tidaknya telah terbuka
kemungkinan kerja sama dengan para pejabat pribumi, khususnya di Jawa
Tengah. Di beberapa daerah, sejumlah priayi bahkan terang-terangan
menyokong usahanya. Belakangan ia menceritakan pengalamannya dengan
seorang asisten residen kepada temantemannya. Asisten residen ini dengan
keras menolak kampanyenya, sehingga para priayi di daerahnya menjadi
takut berjumpa dengan Wahidin. Tanpa takut, ia memutuskan menghadap
asisten residen secepatnya. Setelah masuk ke kantor asisten residen,
Wahidin berdiri mematung di sana sampai sang asisten residen berpaling
kepadanya. Dengan berpura-pura ketakutan, ia mengendap-endap di depan
meja pembesar itu. Ia tidak melalaikan kata-kata penghormatan sepatah
pun. Asisten Residen menjadi lunak, secercah senyum terbit di wajahnya.
Lalu berkatalah pembesar itu: “Dokter, rencanamu harus disokong
sebesar-besarnya. Anda harus bicara di depan rapat, agar semua pegawai
saya bisa mendengar kata-kata Anda sendiri.”
![Budi Utomo](http://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/10/bud_utomo-b15.jpg?w=350&h=243)
Sesungguhnya Wahidin sama sekali tidak
bermaksud singgah di STOVIA. Pada akhir 1907 ketika itu ia hanya ingin
beristirahat di Batavia, sesudah dari perjalanannya yang panjang. Selagi
ia di sana, Soetomo dan Soeradji tiba-tiba saja memutuskan hendak
mengundang dokter itu dan mendengarkan gagasan-gagasannya. Mereka
temyata tergugah oleh semangat orang tua itu.
Mengenang pertemuan pertama itu dalam memoarnya Soetomo menulis: Yang membikin saya terkejut dan tertarik ialah perangai dan pikiran dokter tua ini. Ia mampu memusatkan kegiatannya dan mengatasi rintangan-rintangan yang terus-menerus mengalangi cita-citanya. Saya berhadapan dengan Dokter Wahidin Soedirohoesodo, yang berwajah tenang tapi tajam, dan kepandaiannya mengutarakan pikirannya sangat berkesan pada saya. Suaranya yang jelas dan tenang membuka pikiran dan hati saya, dan membuka dunia baru yang melipur jiwa saya yang terluka dan sakit. Berbicara dengan Dokter Wahidin merupakan pengalaman yang sangat mengharukan. Orang akan dengan mudah tahu tentang luhurnya semangat pengabdian dokter ini.
Baik Soetomo maupun Soeradji lahir tahun
1888, dan berumur sekitar 20 tahun, duduk di kelas lima, pada waktu
mereka bertemu Wahidin. Kedua-duanya masuk sekolah ini 10 Januari 1903,
walaupun, ironisnya, mereka tidak berniat masuk sekolah kedokteran.
Dengan agak sinis Soetomo melukiskan
bagaimana ia menjadi siswa STOVIA tanpa melalui ujian masuk: Sebelum
saya sempat berpikir menjadi dokter, ibu saya bermimpi. Dalam mimpinya,
ibu melihat saya berdiri di pucuk sebatang tiang bambu. Ibu saya bicara
pada diri sendiri: “Anakku sudah bisa memperoleh cukup pendidikan untuk
mencapai cita-citanya. Seandainya anakku akan menjadi priayi, maka jelas
untuk memanjat tiang bambu itu memerlukan waktu yang tak terkira
lamanya. Padahal, anakku masih bersekolah. Jadi, apa kiranya makna mimpi
itu?” Maka, dimintanya Pak Soeto, bekas gurunya, datang menguraikan
rahasia impiannya itu.
Dua hari setelah itu, mengikuti petunjuk Pak Soeto, Ib
u
membikin selamatan. Telegram datang memberitakan kepadanya bahwa saya
telah dipilih menjadi (murid untuk belajar sebagai) dokter tanpa harus
menempuh ujian wajib. Kisah ini merupakan contoh jelas untuk pendapat
Wahidin, tentang orang Jawa rata-rata yang memandang rendah pada
jabatan-jabatan kekaryaan (keprofesian), walaupun jabatan-jabatan
demikian semakin lama semakin tergolong di dalam kepangkatan priayi.
Bagi ibu Soetomo tiang bambu bisa diartikan priayi, tapi tak seorang pun
dari mereka pernah menduga tentang kemungkinan dirinya akan bisa
menjadi dokter Jawa.
![dr. soetomo](http://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/10/dr_soetomo2.jpg?w=290&h=280)
Sama halnya pengalaman Soeradji. Semula
ia berharap menjadi priayi, maka mendaflarlah ke OSVIA, dahulu termasuk
lembaga hoofdenscholen yang direorganisasi tahun 1900 menjadi sekolah
untuk pejabat pribumi. Diterangkan Soetomo: Soeradji sebenarnya lulus
ujian masuk OSVM, tetapi tidak diterima, karena ada calon lain yang
lebih berbangsa ketimbang dia. Ini aturan yang sama sekali tidak
demokratis, tetapi barangkali cocok bagi segolongan tertentu seperti
para pejabat pemerintah Eropa itu.
Mereka menganggap bahwa kepandaian,
kecerdasan, dan kelakuan belum merupakan syarat-syarat cukup bagi elite
pribumi untuk memangku kedudukan yang berpangkat tinggi. Akankah Anda
mengatakan aturan demikian konsentatif dan kolot? Tak perlu saya
berkomentar. Tetapi saya pikir, yang penting agar orang menjadi sadar
bahwa sikap yang semacam inilah yang dengan mudah membangkitkan perasaan
yang akan memperlebar dan memperdalam jurang antara kita dengan
pemerintah. Walau barangkali banyak murid seperti Soetomo dan Soeradji
yang pernah mencoba masuk ke sekolah-sekolah yang lebih bergengsi,
bagaimanapun STOVIA merupakan sebuah dari sedikit lembaga pendidikan
lanjutan yang ada saat itu, dan para muridnya pada umumnya bangga dengan
sekolah tersebut.
Tentang sekolah ini pernah Soetomo mengobral pujiannya: Pendidikan dan bimbingan yang diberikan di sekolah ini sangat baik. Tidak sekadar memenuhi tujuannya untuk mencetak ahli-ahli kesehatan yang akan berguna bagi masyarakat, tetapi sekolah ini pun memberikan kemungkinan bagi para pemuda yang tak mampu meneruskan sekolahnya agar kelak memperoleh kedudukan yang sebaik-baiknya. Misalnya menjadi bupati, patih, wedana, jaksa, pegawai kantorpos, kantor pajak, BOW atau kantor pekerjaan umum, pemimpin-pemimpin bangsa, pengarang, dan wartawan.
Para siswa STOVIA, yang kebanyakan
berasal dari kota-kota kecil itu, juga memperoleh dorongan intelektual
dari kota besar dan modem. Sekolah itu terletak di Weltevreden di
jantung Batavia yang, sebagai kota terbesar, menjadi pusat kegiatan
politik, perekonomian, dan kebudayaan di Hindia, serta merupakan pintu
gerbang paling penting ke dunia luar. Juga Batavia menjadi kediaman satu
kelompok intelektual nonpolitik pribumi, yang kecil tapi sedang tumbuh.
Karena STOVIA pada hakikatnya merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan menengah di Batavia dan sekitarnya, maka
wajarlah bila siswa-siswanya bergaul dengan kelompok intelektual ini,
terpengaruh oleh ide-ide mereka. Tokoh terkemuka kalangan intelektual
ini, antara E.F.E. Douwes Dekker, seorang Indo-Eropa dan saudara jauh
Multatuli, penulis novel terkenal Max Havelaar itu.
Douwes Dekker saat itu redaktur surat
kabar Bataviaasch Nieuwsblad. Karena ia tinggal dalam jarak seperjalanan
kaki saja dari sekolah itu, rumahnya biasa dipakai sebagai “tempat
berkumpul sekaligus perpustakaan dan ruang baca” bagi para siswa.
Soetomo menulis tentang Douwes Dekker: Hubungan
saya dengan Douwes Dekker akrab dan bersahabat, Karena itu, rumahnya
selalu terbuka bagi saya. Douwes Dekker seorang sahabat yang selalu
teguh dan setia dalam membantu kami melalui surat kabarnya, walaupun
cita-citanya, yang kemudian menjelma di dalam (Indische) Partij, tidak
dianut di kalangan kami.
Menurut D.M.G. Koch, seorang sosialis
Belanda yang selama setengah abad tinggal di Hindia, Douwes Dekker
menyimpan gagasan untuk mendirikan sebuah partai, tempat bangsa
Indonesia dan Indo-Eropa bekerja sama demi “kemerdekaan” sejak 1907.
Jika demikian, ia pasti pernah memperbincangkan gagasannya ini dengan
para siswa itu.
Dalam melukiskan Soetomo, Koch menyatakan: Ia
orang yang “jujur luar biasa, walau emosional dan gampang terpengaruh .
. . memang, ia bukanlah orangnya untuk siasat-menyiasat politik yang
lembut dengan segala kecerdikan dan tipu dayanya.”
Jika perangainya yang demikian itu
dianggap sebagai pasiva kelak, selama tahun-tahun pertama Budi Utomo
jelas merupakan aktiva. Seotomo memiliki simpanan energi yang luar biasa
besarnya, dan mampu menyalakan semangat para siswa rekan-rekannyaKartosoewirjo Muda Jurnalis Fadjar Asia
Awal abad 20 tahun, gerbang dibukanya
abad pencerahan. Jaman pergerakan, ditandai dengan hadirnya koran,
munculnya puluhan jurnalis muda. Muncul pula sebuah pola baru dalam
gerakan, organisasi. Dunia penerbitan –yang rata-rata dimiliki oleh
orang Tionghoa– pun mencapai titik terang, ikut pula berperan mendorong
proses kemajuan intelektual kaum bumi putra. Kaum jurnalis menjelma
sekaligus sebagai aktivis-aktivis dan pimpinan pergerakan.
Berkat politik etis, Pemerintah Hindia Belanda memperbolehkan pribumi menerbitkan dagblad
(suratkabar) berbahasa melayu. Ada yang hanya cetak stensilan, ada pula
yang mampu terbit dengan kertas koran kualitas seadanya. Kebanyakan
memang hanya seumur jagung. Satu dagblad mati, dagblad lain lahir.
Medan Prijaji adalah surat kabar
pertama yang terbit dan dikelola oleh orang Indonesia. Surat kabar
berbahasa Indonesia dengan bahasan politik ini terbit pada Januari 1907.
Pelopornya adalah Raden Mas Tirtoehadisoerjo. Kehadiran Medan Prijaji menjadi penggerak terbitnya surat kabar lain yang dipelopori tokoh-tokoh perjuangan: Oetoesan Hindia oleh Hadji Oemar Said Cokroaminoto (tokoh Islam); Halilintar dan Nyala oleh Samaun (tokoh kiri), Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak oleh Ki Hajar Dewantara (tokoh nasionalis); Benih Merdeka dan Sinar Merdeka oleh Parada Harahap (Wartawan senior yang dijuluki the King of Java Press); Suara Rakyat Indonesia, Sinar Merdeka, dan Sinar Indonesia oleh
Soekarno (tokoh demokrat yang menjadi presiden pertama Indonesia), dan
masih banyak lagi surat kabar lainnya, terbit dan tersebar di pelbagai
wilayah.
Kartosoewirjo dan Fadjar Asia
Fadjar Asia
mulai terbit pada Selasa 7 November 1927 Masehi bertepatan dengan 12
Jumadil Awwal 1346 Hijriyah. Fadjar Asia merupakan kelanjutan dari surat
kabar Bendera Islam yang terbit di Yogyakarta pada tahun 1924-1927.
Bendera Islam dikelola oleh petinggi-petinggi Syarikat Islam seperti
Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Sjahbuddin Latif. Sebelum Bendera Islam,
Sarekat Islam memiliki Oetoesan Hindia (1913- 1923) yang mempunyai
pengaruh luas terhadap surat kabar yang terbit di daerah- daerah.
Tidak didapat keterangan jumlah (oplah) Fadjar Asia setiap kali terbit. Akan tetapi dari salah satu edisi dapat diketahui bahwa suratkabar ini mempunyai oplah yang cukup besar dan sirkulasinya tidak hanya di Indonesia tetapi juga menjangkau hingga manca negara, seperti London, Den hag, Moscow, Mesir, India, Malaka, dan China. Luasnya sirkulasi media ini setidaknya dapat juga dicermati dari banyaknya koresponden dan tulisan-tulisan yang diterima redaksi dari berbagai wilayah baik dari dalam maupun luar Hindia Belanda.
Media ini dicetak dan diterbitkan oleh Drukkerijk Uitgevers en handel Maatschappij “Fadjar Asia”
. Pada mulanya alamat redaksi di Pasar Senen Nomor 125 Weltevreden
dengan nomor telepon 1825 kemudian dipindahkan ke Sluisbrugstraat Nomor
31C juga di Weltevreden dan nomor teleponnya tetap. Fadjar Asia menjadi
pilihan redaktur untuk tetap mempertahankan semangat dan misi Bendera
Islam yakni suratkabar yang berdasarkan politik ke-Islaman. Semangat ini selalu dicantumkan dalam setiap penerbitan Fadjar Asia.
Kelahiran Fadjar Asia di tahun 1927
inilah menjadi awal karir dan perjalanan S.M. Kartosoewirjo dalam
bidang jurnalis pergerakan. Sejak “menyatakan” bergabung ke Partai
Syarekat Islam Hindia Timur (PSIHT) atas ajakan H.O.S Tjokroaminoto,
karir Kartosoewirjo dengan cepat melejit bersanding dengan tokoh-tokoh
PSIHT sekaliber Agus Salim, Dr. Soekiman dan lainnya. Bulan September
1927, S.M. Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto dan di
bulan Desember 1927 dalam kongres PSIHT di Pekalongan, Kartosoewirjo
terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. (Pada Oktober 1928 Kartosoewirjo
menjadi peserta kongres pemuda Indonesia di Batavia. Pada kongres
tersebut Kartoosoewirjo terlibat debat sengit dengan ketua kongres
Soegondo tentang hakikat pendidikan masa depan).
Dalam usia 22 tahun (1927), Soekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo (lahir 7 Februari 1905 di Cepu) menjadi wartawan
surat kabar Fadjar Asia mulai dari bawah sebagai korektor dan reporter.
Dalam waktu 16 bulan kemudian ia diangkat sebagai wakil pemimpin
redaksi dan kuasa usaha. Ini prestasi cukup mengesankan ketika itu.
Dalam fase kehidupan jurnalistik inilah Kartosoewirjo mengembangkan
kemampuan artikulasi gagasan-gagasannya. Fadjar Asia wadah paling tepat
untuk itu. Dalam Fadjar Asia itulah tulisan-tulisannya ‘mengalir’ bak
air terjun. Pada tahun 1929, dalam usaianya ang relatif muda, sekitar 24
tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia (menggantikan HOS Tjokroaminoto yang jatuh sakit).
Gagasan Intelektual Kartosoewirjo
![Kata adalah senjata](https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/04/kata-adalah-senjata.jpg?w=350&h=172)
Ini berakibat buruk. Angkatan muda
Indonesia saat ini yang nota bene tidak pernah mengalami pahit getirnya
dinamika politik zaman Revolusi, Demokrasi Parlementer, dan Orde Lama,
kurang atau bahkan tidak mengenal sama sekali tokoh-tokoh sejarah bangsa
mereka sendiri. Mereka tidak mengenal secara objektif sisi ‘plus-minus’
peran historis dan jasa-jasa tokoh-tokoh sejarah itu. Bila demikian,
bagaimana mungkin bangsa ini bisa belajar dari kesalahan atau kearifan
mereka di masa lampau? Bagaimana mungkin bangsa ini menghargai jasa-jasa
pahlawannya bila mereka tak dikenal? Padahal, seperti dikatakan Bung
Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa
pahlawannya.”
Ketokohan Kartosoewirjo juga diliputi mitos dan manipulasi sejarah. Di masa Orde Baru karakter tokoh ini dimanipulasi dan dimitoskan, sehingga yang tampil di hadapan kita adalah Kartosoewirjo ‘pemberontak’, pengkhianat bangsa dan musuh negara jauh dari apa yang digambarkan Hiroko Horikoshi yang menilai tokoh ini sebagai pejuang anti penindasan kolonial, berjasa membendung Komunisme di zaman pergerakan nasional dan pejuang keadilan. Lukisan ‘distortif’ tentang Kartosoewirjo itu diindoktrinasi selama Orde Baru melalui berbagai penataran P4 (Pedoman, Peng-hayatan, Pengamalan Pancasila) dan pelajaran sekolah dari SD hingga SMU. Hal serupa dilakukan dalam pendidikan-pendidikan militer tingkat SESKO ABRI. Sisi-sisi positif kehidupan pribadi dan politiknya nyaris tidak akan ditemukan dalam buku-buku sejarah formal Orde Baru.
Dekonstruksi sejarah dan biografi
Kartosoewirjo dilakukan dengan menggali beberapa topik diantaranya,
bagaimana sesungguhnya peran Kartosoewirjo masa muda di zaman Kolonial,
pergerakan nasional sebelum Indonesia merdeka? Apa makna historis
keberadaannya dalam perjuangan melawan penjajahan?
Mengkaji dan memahami jejak pemikiran
Kartosoewirjo menjadi penting dalam rangka dekonstruksi sejarah dan
biografi Kartosoewirjo. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan : “Akhir dari pemikiran adalah pergerakan dan akhir dari pergerakan adalah pemikiran”,
Pergerakan dan pemikiran Kartosoewirjo adalah satu paket yang tidak
bisa dipisahkan dari pemikiran dan pergerakan Partai Syarekat Islam
Hindia Timur dengan corong pergerakannya Fadjar Asia atau Bendera Islam
dan tentunya tidak bisa dipisahkan dengan pemikiran dan pergerakan dari
H.O.S Tjokroaminoto sebagai ketua partai, guru politik dan bapak
ideologisnya. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia
menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali
kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Kartosoewirjo, meminjam Herbert Marcuse,
bukan ‘manusia satu dimensi’ (one dimensional man) yang melulu bergulat
dengan wacana teoritis yang abstrak. Dia juga seorang aktivis politik
yang bergulat dengan dunia praxis dan menjadi bagian darinya. Karier
semasa hidup membuktikan hal itu; Kartosoewirjo menjadi teoritisi dan
politikus (PSII dan Masyumi, era 1920-an – pertengahan 1940-an),
wartawan, dan imam gerilyawan. Selanjutnya sejarah menunjukan bahwa
Kartosoewirjo adalah tokoh gerilyawan legendaris.
Gagasan-gagasan intelektual radikal
Kartosoewirjo mulai nampak dalam artikel-artikel Fadjar Asia. Ia
menentang para bangsawan Jawa (kaum priyayi) yang bekerja sama dengan
pemerintahan Belanda. Pembelaannya terhadap kaum tertindas, petani kecil
dan buruh-buruh juga dikemukakan. Ketika para petani kecil di Lampung
diusir dari tanah miliknya oleh ‘kapitalis asing’, Kartosoewirjo
menulis: “Orang-orang Lampung dipandang dan diperlakukan sebagai
monyet belaka, ialah monyet yang diusir dari sebatang pohon ke sebatang
pohon lainnya.” Dikecamnya Volksraad yang tidak melindungi dan
berpihak kepada rakyat serta ‘hanya omong kosong belaka.’ Kepada kaum
buruh ia menyerukan melawan para penindasnya: “Jangan berkeluh
kesah, jangan meminta-minta! Jangan tinggal diam saja! Kalau takut mati
jangan hidup! Kalau hendak hidup janganlah takut mati!” Dalam tulisannya yang lain ia mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya bisa diperoleh dengan pengorbanan: “Sebab
kemerdekaan tanah air itu tidaklah sedikit harganya, yang oleh
karenanya harganya, tentu bakal memakan korban luar biasa.”
Kepada kaum abangan dan PNI Soekarno yang
menyerang Islam, reaksi Kartosoewirjo lebih keras lagi. Mengetahui
Parada Harahap –ketua redaksi Bintang Timoer– menghina Islam,
Kartosoewirjo menulis: “Si Parada Harahap menjilat-jilat pantat dan
mencari muka kaum Nasionalis (PNI). Menjilat pantat dan mencari muka,
karena ia perlu akan hal itu sebab boleh jadi Parada Harahap takut kalau
ia lantaran berbuat berkhianat terhadap kepada bangsa dan tanah air
-mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh jadi ia menjadi
tidak sadar kalau tidak mampus sama sekali.” Kartosoewirjo juga menjuluki Parada Harahap ‘Penjual Bangsa Indonesia’, dan ‘Binatang Tikus dari Krekot.’
Gaya bertutur tulisan Kartosoewirjo yang
sistematis dalam mengurai masalah dan memberi solusi pada setiap
permasalahan menunjukan kadar intelektual yang mumpuni. Kritik tajam
dengan kata-kata yang jelas dan tegas menunjukan sikap Kartosoewirjo
muda yang teguh pada prinsip yang dianutnya. Dalam tulisan di Fadjar
Asia tentang “Soenan dan Kebangsaan“, Kartosoewirjo menulis :
“ Dalam Pasar Malam itoe adalah soeatoe kedjadian jang dapat sangat membikin ketjiwa teroetama bagi kaoem kebangsaan jang mendjadi wakil pers dalam keramaian itoe. Di sitoe tertampaklah beberapa orang journalist, baik bangsa kita maoepoen bangsa koelit poetih (dan boleh djadi djoega bangsa Tionghoa). Jang mempoenjai koelit poetih boleh doedoek di atas koersi dan dilajani sebagaimana biasa, diberi minoem sekedarnja d.l.l., tetapi journalist bangsa kita “dipersilahkan” doedoek “sebo” dan perkara minoeman dan l.l.s. ta’ oesah perbintjangkan di sini, mereka itoe boleh menelan loedahnja sampai kering kerongkongannja. Jang satoe dipersilahkan doedoek di atas, dilajani seperloenja tetapi sebaliknja jang lainnja disoeroeh doedoek “sebo” di bawah. Doea-doeanja sama-sama deradjat, harga dan pekerdjaannja dalam pergaoelan hidoep antara manoesia bersama.Tentoe sadja dengan kenjataan jang demikian itoe banjak orang dari kaoem journalist, teristimewa kaoem journalist jang berperasaan dan bersemangat Kebangsaan jang laloe dan masing2 menoendjoekkan ke-tidak setoedjoean-nja akan kedjadian jang sangat pintjang itoe adanja.Roepanja perbedaan ini tidak hanja karena perbedaan boeloe atau koelit sadja tetapi karena beberapa soe’al jang berhoeboengan dengan harga dan tempatnja Soenan dalam doenia ini terhadap fihak jang mengoeasai atasnja.
Memang sejak awal abad ke-20, Belanda
mulai ‘menjinakkan’ pers berbahasa Melayu di Hindia-Belanda dengan cara
baru. Pemerintah Hindia-Belanda menjadi ‘penuh perhatian’ kepada pers.
”Semakin pers Melayu berani menyatakan fikirannya, semakin ia diindahkan
oleh pemerintah,” tulis Tirto Adhi Soerjo yang dimuat di Medan Prijaji tahun 1909.
Perhatian itu, menurut Tirto yang tulisannya dikutip ulang di buku Sang Pemula yang
ditulis Pramoedya Ananta Toer (Hasta Mitra, 1985), berupa diberikannya
diskon 25 persen bagi awak pers ketika naik kereta api kompeni. Potongan
25 persen, biasanya hanya diberilakukan untuk penumpang rombongan,
seperti yang diberikan kepada rombongan pemain sepak bola. Pemerintahan
Hindia Belanda sepertinya memberikan hak-hak khusus pada kaum jurnalis.
Tetapi Kartosoewirjo dengan jeli melihat
perbedaan perlakuan antara jurnalis bangsa kulit putih, bangsa Tionghoa
dengan jurnalis bangsa sendiri. “ Jang mempoenjai koelit poetih
boleh doedoek di atas koersi dan dilajani sebagaimana biasa, diberi
minoem sekedarnja d.l.l., tetapi journalist bangsa kita “dipersilahkan”
doedoek “sebo” dan perkara minoeman dan l.l.s. ta’ oesah perbintjangkan
di sini, mereka itoe boleh menelan loedahnja sampai kering
kerongkongannja”. Dari kenyataan yang seolah sederhana,
Kartosoewirjo justru menarik soal ini pada persoalan kebangsaan dan
keislamam. Kartosoewirjo selanjutnya menulis :
“Rasa kebangsaan ta’ ada ke-Islaman poen demikian poela halnja, kendatipoen ia (Soenan) menoeroet titelnja mendjadi kepala Agama Islam, Agama Kebangsaan kita ditanah toempah darah kita ini. Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lainnja diberi hak jang lebih dari batas, terlebih-lebih kalau kita mengingat jang kedoea fihak itoe (sama2 journalistnja mempoenjai deradjat dan pendjabatan jang bersamaan.Kita tahoe, jang nistjajalah boekan maksoed Soenan boeat menerima tetamoenja dengan djalan jang begitoe tidak menjenangkan bagi salah satoe fihak, fihak bangsanja sendiri. Dan kita mengerti djoega, apakah gerangan jang mendjadikan sebab-sebabnja, maka ke’adaan jang begitoe itoe bisa diperlihatkan di medan oemoem.Jang soedah terang dan njata, ialah:
Boekan karena Tjinta Bangsa dan Tanah Air.
Boekan karena Tjinta kepada Bangsa dan Ra’jatnja.
Boekan karena tjinta kepada Ra’jat dan bangsa lainnja.
Melainkan karena ….keperloean diri sendiri belaka, keperloean diri
jang bersangkoetan dengan ke-Soenanannja.Djadi perboeatan jang demikian itoe boekanlah soeatoe perboeatan jang dilakoekan karena Allah (lillahi Ta’ala), tetapi karena …pembatja boleh menerka sendiri2, apakah jang kita maksoedkan itoe.Moedah2an keadaan jang amat gandjil, jang bertentangan dengan tiap2 faham ke-manoesiaan keoetamaan dan ke’adilan dan berlawanan dengan “nationale Belangen” itoe hendaknja akan lenjap dari sendirinja, menoeroet peredaran zaman dengan selekas2nja. Demikianlah”
Analisanya yang tajam terlihat juga dalam tulisan tentang R.A. Kartini yang berjudul “Riwajat Almarhoem Raden Adjeng Kartini” 23 April 1929. Kartosoewirjo menulis :
“Hari 21 April 1929 kemarin isi tjoekoeplah 50 tahoen, terhitoeng dari lahirnja, dan 25 tahoen kira2 terhitoeng dari mangkat beliau sampai sekarang. Dari itoe maka di mana2 tempat di seloeroeh Indonesia diadakan pertemoean oleh perkoempoelan2 kaoem isteri oentoek memperajakan hari jang penting ini, agar soepaja kita semoea mendapat ingat lagi, bahwa jang bermoela-moela membantingkan diri oentoek keperloean kaoem isteri ditanah ini jaitoe Almarhoem R.A. Kartini, soeatoe nama jang telah masjhoer di sentaro doenia.”
Kartosoewirjo selanjutnya menulis :
“Siapakah Kartini itoe, barangkali ada baiknja dan goenanja djoega, djikalau kita oeraikan dengan singkat riwajatnja beliau almarhoem itoe.Marilah kita moelai dari datangnja toean Mr. Abendanon ke Djepara. T. Abendanon di waktoe itoe sedang memegang djabatan jang paling tinggi Departement Peladjaran. Sebagai Directeur Onderwijs ia sama-sama dengan njonjanja mengoendjoengi Kaboe-paten Djepara. Dan di sinilah bergandengannja doea hati, doea kemaoean, jang kelak selaloe bisa mengerti dan setoedjoe-menjetoedjoei satoe dengan lainnja, sampai boleh diperkatakan, seperti pepatah Djawa membilang: Toemboe mendapat (oleh Red. F.A.) toetoep. Apakah maksoed Toean Abendanon itoe? Ta’ lain hanja dengan maksoed hendak beremboek dengan Regent dan poetri-poetrinja, bagaimana tjaranja akan mendjoen-djoeng deradjatnja kaoem isteri itoe. Sesoedah pertemoean ini kedjadian dengan berhatsil, maka dengan senang hati Kartini melandjoetkan kemaoeannja bertoekar-fikiran dengan soerat. Tidak hanja dengan T. Abendanon sadja, akan tetapi djoega dengan lain-lainnja, jang dipandangnja akan bisa membawa boeah jang sehat.”
Apa yang hendak disampaikan Kartosoewirjo dari tulisan tentang peringatan R.A. Kartini?, Kartosoewirjo menulis :
“Kalau diperkatakan, bahwa tjita2 jang dikandoeng oleh R.A. Kartini itoe adalah soeatoe angan2 jang sangat mendekati tjita2 Islam dalam perihal berlaki-isteri. maka kebanjakan masih djoega disangkal, karena kebanjakan daripada mereka itoe tidak mengetahoei betoel2 akan agamanja. tidak tahoe akan hoekoem-berhoekoem jang termaktoeb dalam Qoer’an Soetji.Memang mereka itoe dalam keroegian, dalam kegelapan, boekan karena salahnja sendiri –moela2nja– tetapi salahnja pendidikan jang diterimanja. Kemoedian mereka itoe laloe menggoedel bingoeng dan tidak soeka lagi menjelidiki kebenaran jang sesoenggoeh2nja, katanja, lantaran mereka itoe soedah ,,wetenschapplijk” atau ,,kewetenschapplijk-en.”Apakah Islam tidak dapat diselidiki dengan ,,wetenschap”? Itoelah mereka tidak mengetahoeinja, biar pengetahoeannja sampai ,,soendoel langit” sekalipoen. Kalau seandainja tjita-tjita R.A. Kartini itoe dianggap sebagai angan-angan Islam –jang memang boekan– nistjajalah tidak akan disoekai, sebab ada perkataan ,,Islam”.Pendek kata soedahlah terang bahwa kebanjakan dari pada pemoeda-pemoeda sekarang ini jang soedah amat ,,membarat”, telah loepa akan agamanja dan toendoek kepada barang jang tidak kekal (S.M.K.). Tentang kemasjhoeran poen agama Islam tidak akan koerang dari pada itoe, (S.M.K.) Memerangi ‘adat-isteri ‘adat jang hendaknja akan menghalang-halangi kemadjoean tanah air, bangsa dan Ra’iat kita, teroetama bagi kaoem isteri, memang haroes dilinjapkan dari doenia ini, tetapi apakah jang mendjadi oekoeran ,,kemadjoean” itoe? Baratlah atau lain-lainnja? Boleh djadi, tetapi agama kita roepanja tidak. Barat memoesoehi ‘adat! Boekan sjara’ Islam berhadapan dengan hoekoem ‘adat, jang amat merendahkan deradjat manoesia!!!
Kartosoewirjo tidak seperti sosok
Soekarno atau Hatta, yang lebih banyak bergelut dengan masalah-masalah
teori dan pemikiran. Ia adalah seorang konseptor, tapi juga seorang
praktisi. Dia tak hanya menggali pemikiran, tapi juga mengangkat senjata
pergi berperang. Satu paduan yang jarang ditemui dalam diri pejuang
kemerdekaan. Kartosoewirjo adalah sosok dengan kompleksitas yang tinggi.
Masa muda Kartosoewirjo tidak dihabiskan dengan hidup ongkang-ongkang
kaki, hidup bergaya Holand tetapi hidup memeras pikiran untuk memberikan
kesadaran bagi bangsa Indonesia akan penjajahan bangsa koelit poetih
dan memotivasi bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaannya.
“Selama hidoep dan berdjangkitnja kedhaliman selama di doenia ini beloem ada ke’adilan, selama….., maka selama itoe senantiasa terdjadilah pertaroengan antara kaoem jang merasa koeat dan koeasa dan fihak jang “rendah” dan “lemah”, jang diperboeat sewenang-wenang dan sekehendak hati kaoem pertoeanan itoe. Inilah poela jang menjebabkan pertjederaan, perlawanan dan permoesoehan jang tidak akan dapat diberhentikan dengan berondongnja meriam dan sendjata api. ~S.M. Kartosoewirjo~
0 komentar :
Posting Komentar